Note: This is the Indonesian translation of the essay I had contributed as a part of the group writing project initiated by Jakartass, a well-renowned English-language blogger based in Jakarta. This Indonesian translation is mainly intended as a reading for the Indonesian public in general.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Salah seorang teman saya, sebut saja namanya Danu, lulusan jurusan Sastra Jepang di sebuah akademi negeri di Padang, baru-baru ini mengejutkan saya ketika dia memberitahu saya bahwa pencapaian tertinggi yang pernah diraihnya adalah lulus secara pas-pasan di level 3-nya JLPT (Ujian Kemampuan Berbahasa Jepang).
Saya menjadi lebih terkejut lagi saat saya bertanya pada Danu kalau kemampuannya membaca kanji merupakan sebuah kelemahan konstannya. Dia bilang ya. Saya tidak bertanya lebih jauh lagi karena saya takut dia akan merasa tersinggung melihat rasa terkejut saya setelah mengetahui betapa lemahnya kemampuan dia berbahasa Jepang.
Hal ini harus diterima sebagai sebuah alarm bagi mereka yang tidak terkejut seperti saya: lulus dari JLPT level 3 berarti Danu hanya bisa membaca 300 kanji, yang hanya mencakup 15% dari ±2000 kanji yang diperlukan untuk kehidupan “melek aksara” di Jepang.
Hal ini bukan berarti saya akan membuat definisi pribadi mengenai “melek aksara” di sini. Melek aksara pada umumnya berarti bahwa orang yang bersangkutan bisa membaca ABC (beberapa professor besar malah ada yang memperluas definisinya menjadi “kemampuan untuk berekspresi atau mengutarakan dengan kata-kata tentang kehidupan kita”, tetapi ini bukanlah topik utama kita kali ini), namun menjadi “melek huruf” di negara-negara yang menggunakan aksara Cina seperti Cina dan Jepang bisa berarti lain.
Sudah diketahui bahwa kemampuan membaca 500 kanji sudah cukup untuk bisa membaca surat kabar Jepang. Walaupun begitu, kenyataan bahwa seseorang yang sudah belajar Sastra Jepang selama empat tahun di sebuah akademi negeri hamper tidak bisa baca apapun dalam bahasa Jepang sebaiknya diterima sebagai sebuah siraman air dingin –dan beker bangun pagi— bagi sebagian besar pengajar bahasa asing di Indonesia.
Setahu saya, mengambil jurusan Sastra Jepang di universitas-universitas di Jepang dan Amerika Serikat memberikan para pelajar kemampuan untuk menghasilkan karya tulis yang mendiskusikan Jepang baik dari segi sejarah maupun kontemporer, membuat komentar literatur pada haiku-haiku dari para pujangga ternama, atau bahkan berdebat panjang lebar dengan pembicara asal Jepang, yang sudah tentu semuanya dalam bahasa Jepang.
Contoh lain adalah Tuti (bukan nama sebenarnya juga), lulusan Sastra Inggris dari akademi negeri di Jakarta. Ketika saya pertama berkenalan dengannya, saya berbicara dalam bahasa Indonesia. Lalu saya pun mencoba berbincang sedikit dengannya dalam bahasa Inggris, hanya untuk menemukan bahwa dia tidak bisa berbicara bahasa itu dengan fasih, dengan gagap di sana-sini. Pertama-tama saya kira dia memang ngomongnya gagap. Ketika saya kembali ke bahasa Indonesia, semua kegagapannya tiba-tiba hilang, dan saya pun bertanya dalam hati bagaimana caranya menulis skripsi dalam bahasa Inggris dan mempertahankan argumen-argumennya di situ.
Sungguh ironis bahwa di sekolah-sekolah menengah berkurikulum British di Jakarta, baik anak-anak warga Indonesia dan WNA mengetahui betul bahwa mengambil pelajaran Sastra Inggris berarti bahwa mereka akan membahas puisi-puisi dan drama Shakespeare sedalam yang mereka bisa tangani, mirip seperti pengalaman saya sendiri belajar Sastra Inggris di sebuah sekolah menengah di Singapura. Karena beratnya tuntutan dari pelajaran itu, banyak di antara mereka yang bahasa-ibu-nya bukan Inggris merasa terlalu berat untuk dipelajari, dan memilih untuk drop pelajaran itu. Saya sendiri hanya bisa lulus pas-pasan pada ujian ‘O’-level Sastra saya.
Tentu saja, mencontoh dari lulusan akademi negeri seperti Tuti dan Danu dan membandingkan mereka dengan standar internasional tidak berarti bahwa saya memetik “buah buruk” sebagai contoh yang pantas dijelek-jelekkan. Biar bagaimanapun juga, survei yang lebih besar dan lebih komprehensif yang mencakup semua jenjang pendidikan, baik internasional, swasta, maupun negeri, selalu bisa diadakan oleh badan-badan riset pendidikan. Malah, saya mengambil sampel dari akademi negeri yang orang jarang dengar karena saya tahu bahwa sampel itulah yang paling nyata, yang bisa dihadiri oleh penduduk Indonesia berpenghasilan rata-rata; dan karena itulah sampel-sampel itu memberikan penilaian yang lebih baik mengenai standar seperti apa yang diterima oleh seorang mahasiswa/mahasiswi di universitas di Indonesia untuk lulus.
Melihat contoh dari institusi-institusi top seperti Universitas Pelita Harapan atau Universitas Bina Nusantara hanya akan memberikan gambaran yang salah mengenai pendidikan tinggi secara umum di Indonesia, karena institusi-institusi tersebut sudah mengaplikasikan standard internasional yang lebih ekstensif dalam kualifikasinya. Melihat contoh dari institusi yang lebih berdasar pada system pendidikan Indonesia juga, seperti Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, Universitas Petra di Surabaya atau Universitas Indonesia di Jakarta juga akan memberikan gambaran salah lainnya, karena hanya minoritas terbaik pelajar Indonesia dapat belajar di sana.
Secara garis besar, membandingkan studi bahasa dari berbagai spektrum yang berbeda dapat membuat beberapa di antara kita menjadi pesimis dalam memantau pendidikan bahasa di Indonesia pada masa depan. Sudah merupakan hal yang mutlak bahwa saat ini diperlukan standardisasi pendidikan bahasa yang lebih baik, tidak hanya dari jenjang SMU, tetapi juga dari tingkatan paling dasar pada SD. Banyak SLTP –baik negeri maupun swasta— di kota-kota besar di Indonesia telah mengadopsi pelajaran-pelajaran bahasa asing seperti Mandarin, Arab, atau Jerman, namun lulusan SLTP tersebut tidak bisa berbincang lebih jauh daripada perkenalan diri sendiri.
Jika kebanyakan lulusan SMU hari ini tidak bisa berbicara dalam bahasa Inggris dengan fasih, yang merupakan bahasa kedua paling utama di Indonesia, bagaimana mungkin sekolah-sekolah sekarang mempunyai harapan tinggi bagi para pelajar untuk menguasai bahasa ketiga atau bahkan yang keempat?
Salah seorang teman saya, seorang murid SMU yang sekarang masih belajar di salah satu lembaga kursus bahasa Jepang di Jakarta, pernah bergurau bahwa dia adalah orang paling multilingual yang pernah dia kenal: selain belajar bahasa Jepang yang tidak merupakan pelajaran yang tidak ditawarkan di sekolahnya, dia juga diwajibkan untuk mengambil lima bahasa lainnya di sekolah, yaitu Bahasa Indonesia, Inggris, Arab, Mandarin, dan Perancis! Saya tidak meragukan pemahamannya akan bahasa Inggris, yang dibuktikan dengan kecepatannya menyelesaikan buku Harry Potter versi Inggris segera setelah dijual di toko buku, tetapi saya tidak mengetahui seperti apa kemampuannya dalam empat bahasa asing lain yang sedang dipelajarinya.
Fakta berbicara bahwa pendidikan trilingual memang oke (tentu saja kalau murid yang bersangkutan bisa mengatur dengan dua bahasa baru bersamaan), tetapi pendidikan tetralingual (empat bahasa) tidak. Penelitian membuktikan bahwa sangatlah tidak dianjurkan bagi manusia untuk belajar lebih dari dua bahasa asing baru secara bersamaan, karena definisi kosakata dan struktur tata bahasa dapat bercampur aduk di area Broca, bagian otak yang bertanggung jawab untuk mengatur artikulasi ucapan dan pengucapan bahasa, terutama jika bahasa-bahasa yang dia pelajari berhubungan dekat satu sama lain atau berasal dari famili bahasa yang sama (seperti belajar bahasa Spanyol dan Italia bersamaan, yang merupakan bagian dari famili bahasa Romans).
Terdapat empat aspek dari suatu bahasa, yaitu Mendengar, Membaca, Berbicara, dan Menulis. Dua aspek yang pertama menentukan kemampuan seseorang untuk memahami sebuah pesan berwujud teks/audiovisual, sementara kedua aspek lainnya menentukan kemampuan seseorang memproduksi pesan tersebut. Dari pengamatan saya, pendidikan bahasa di sekolah-sekolah dan universitas-universitas di Indonesia condong lebih fokus pada aspek “Mendengar” dan “Membaca” saja, sementara kedua aspek lainnya tidak begitu dipedulikan.
Sudah tidak aneh, kalau kini kursus-kursus bahasa di kota-kota besar mudah menjadi laris bak kacang greng, karena kebutuhan murid untuk menguasai keempat aspek bahasa tersebut telah disadari oleh pihak orangtua.
Ironisnya, masalah linguistic ini tidak hanya ditemukan di negara berkembang seperti Indonesia. Di Jepang dan Korea Selatan, dua di antara negara-negara berekonomi dan berteknologi paling maju di dunia, ada kebutuhan yang serupa untuk lembaga-lembaga kursus bahasa, dan perbedaan mendasar pada negara-negara tersebut dengan Indonesia adalah hampir semua kursus di Jepang dan Korea Selatan focus dalam pengajaran bahasa Inggris saja.
Baik di Indonesia maupun kedua raksasa Asia Timur tersebut, kita dapat menelusuri akar dari kurangnya penguasaan para murid dalam keempat aspek bahasa tersebut dalam para tenaga pengajarnya sendiri. Kalau bahkan para guru tidak cukup berkualifikasi untuk mengajarkan semua unsure-unsur dasar dari bahasa tersebut, bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan para murid untuk menguasainya dengan baik? Sudah merupakan realita umum bahwa kebanyakan pengajar bahasa Inggris berkebangsaan Jepang sering tersendat-sendat ketika berbincang dalam bahasa yang mereka ajarkan sendiri, serupa dengan kasusnya Tuti.
Di Indonesia, tidaklah masalah bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar untuk menemukan lembaga-lembaga kursus, tetapi bagaimana dengan mereka yang tinggal di daerah pedesaan? Sangatlah sulit menemukan lembaga kursus seperti itu di sana, dan bahkan jika memang ada sekalipun, kebanyakan orangtua di sana akan lebih memilih untuk tidak mengirimkan anak-anak mereka ke sana karena biayanya yang mahal. Sudah bisa menyekolahkan anak-anak mereka yang biayanya hampir gratis saja sudah merupakan sesuatu yang mereka syukuri, apalagi kalau harus membayar lebih dari itu.
Kita juga harus memperhatikan bahwa dalam era globalisasi ini, tetangga kita seperti Malaysia dan Filipina telah mengambil langkah lebih awal dalam meningkatkan kualitas pendidikan bahasa Inggris di sekolah-sekolah sana. Bahasa Inggris telah menjadi bahasa utama di daerah urban dan pedesaan, dan hal ini tentu saja tidak terdapat di Indonesia. Pemerintah Indonesia—terutama Kementerian Pendidikan— tidak pernah mengambil langkah-langkah serupa untuk meyakinkan bahwa generasi muda Indonesia sekarang bisa diperlengkapi dengan kemampuan berbahasa-asing, di luar kemampuan bahasa Indonesia mereka sendiri.
Untuk menjamin bahwa pendekatan holistic dan menyeluruh dalam meningkatkan kualitas pengajaran bahasa di seluruh negeri, Kementerian Pendidikan perlu menjamin bahwa sebagian besar –jika tidak semua— pengajar bahasa di seluruh Indonesia, baik mereka yang mau mengajar di sekolah internasional, sekolah swasta atau sekolah negeri di kota-kota besar atau pedesaan, harus diberikan kesempatan untuk menyelami lebih dalam bahasa tersebut dengan belajar langsung dari para native speaker yang diundang ke sini atau mengirimkan mereka ke luar negeri. Beasiswa harus diupayakan bagi mereka yang tidak bisa membiayainya, dan hanya setelah itulah kita bisa melihat standar kemampuan berbahasa di institusi negeri menjadi kurang lebih sama dengan yang lebih bereputasi.
Read more...