Realita Perubahan Iklim: "Sebelum semuanya terlambat"

The entirety of this blog post is originally the Indonesian translation of the editorial section of The Jakarta Post dated Friday, 30 November 2007, titled “Before it’s too late”.

Translated by: Toshihiko Atsuyama

Written by: Unknown

Sungguh sebuah berita baik bagi Indonesia untuk menaiki tangga Indeks Pembangunan Manusia (HDI), standar internasional yang menentukan kemakmuran sebuah negara.

Secara keseluruhan, nilai HDI Indonesia telah meningkat dari 0.711 tahun lalu ke 0.728 tahun ini, yang menempatkannya pada posisi ke-107 di antara 177 negara yang disurvei. Indonesia telah berada dalam kurva meningkat sejak 1975, walaupun harus diakui bahwa peningkatannya masih sangat lambat, bahkan lebih lambat daripada tetangga ASEAN kita Vietnam.

Mungkin saja di khalayak banyak yang tidak peduli atau bahkan mengerti arti pentingnya sebuah data yang diperbaharui setiap tahunnya. Tetapi tetap saja kita harus menghadapi fakta bahwa setelah 3 dasawarsa laporan HDI pertama kali dipublikasikan, Indonesia tidak pernah menempati posisi lebih tinggi daripada no.107 walaupun mempunyai kekayaan alam yang berlimpah ruah.

Sudah jelas bahwa terdapat banyak kekurangan dalam metode yang diterapkan negeri ini dalam mendayagunakan Sumber Daya Alam (SDA)-nya, terlebih lagi hal itu juga tidak membawa manfaat sama rata bagi semua penduduk Indonesia. Bahkan ada suatu masa ketika sistem pemerintahan yang terlalu terpusat mengorbankan daerah-daerah ber-SDA tinggi dan penduduk lokal.

Angin perubahan sudah mulai mendesir ke pelosok nusantara dan beberapa pihak sudah mulai mengambil inisiatif untuk membayar kesalahan kita di masa lalu. Tetapi tentu saja tantangan untuk pengurangan angka kemiskinan tidak berhenti di situ. Jalan menuju kemakmuran akan jauh lebih panjang dan berbatu-batu bagi Indonesia, seperti yang dilaporkan dalam Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report).

Laporan tahun ini dengan sengaja telah mengangkat topik yang bahasan hangat di banyak negara berkembang, terutama Indonesia, yang usahanya mengurangi angka kemiskinan berisiko tersabotase oleh perubahan iklim.

Seperti yang sudah diperingatkan oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon, perubahan iklim mengancam akan adanya musibah ganda, dengan adanya penderitaan rakyat miskin pada awal mula dan diikuti oleh bahaya jangka panjang bagi seluruh umat manusia.

Kita telah memasuki jangka awal “musibah ganda” ini dengan adanya banjir, tanah longsor, dan kekeringan di berbagai daerah. Pada semua peristiwa-peristiwa ini, penduduk miskin menjadi korban walau mereka tidak berhak menerimanya hanya karena kurangnya akses mereka pada sumber daya yang tepat.

Ketika banjir menenggelamkan banyak bagian Jakarta bulan Februari lalu, lebih dari 422.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka. Walaupun begitu, penduduk dari kelas-bawah adalah yang paling menderita karena kekurangan sumber daya untuk mencari tempat tinggal sementara lainnya, dan karena itulah mereka terpaksa tinggal di rumah mereka yang kebanjiran atau pindah ke tempat pengungsian yang disediakan Pemda Jakarta.

Ketika kekeringan jangka panjang menimpa belahan timur pulau Jawa bertahun-tahun yang lalu, lagi-lagi para petani yang harus menanggung beban paling berat hanya karena mereka tidak mempunyai tabungan yang bisa menolong mereka keluar dari kegagalan panen.

Sudah merupakan tanggung jawab kita semua, terutama pemerintah, untuk membantu masyarakat kelas-bawah untuk menghadapi perubahan iklim dengan dampak-dampaknya. Dan membantu orang-orang ini akan membutuhkan biaya.

Sampai akhirnya kita pun mendukung inisiatif pemerintah untuk mengusahakan didirikannya sebuah mekanisme pendanaan global melalui Dana Spesial Perubahan Iklim, untuk membantu negara-negara berkembang beradaptasi pada dampak-dampak perubahan iklim.

Selain pendanaan, strategi adaptasi yang lebih baik juga vital karena dampak dari perubahan iklim sangat mudah diprediksi.

Berbagai studi telah menunjukkan, misalnya, bahwa kalau kita melanjutkan bisnis seperti sekarang ini, bongkahan besar dari pesisir pulau Sumatera akan menghilang, sama seperti beberapa bagian dari pesisir timur Kalimantan dan bagian selatan Papua. Yang juga akan menerima dampaknya adalah jutaan penduduk yang tinggal di pesisir utara pulau Jawa.

Oleh karena kita mengetahui bahwa semua ini bisa terwujud menjadi realita yang harus kita hadapi dalam jangka waktu minimal 20 tahun dari sekarang, kita harus bertindak sekarang untuk mencegah hal itu terjadi. Sangatlah penting bagi pemerintah untuk menyatukan kesadaran akan alam dalam perancangan dan perencanaan kebijakan yang relevan.

Biarpun begitu, usaha-usaha untuk menghindari musibah di hadapan kita ini akan padam tanpa dukungan dari segenap lapisan masyarakat, termasuk sektor bisnis. Hal paling kecil yang bisa kita lakukan adalah mengubah gaya hidup kita yang terlalu eksploitatif, sementara pihak swasta bisa berinvestasi dalam pemberdayaan alam.

Kita semua memiliki tanggung jawab masing-masing untuk menyelamatkan alam. Bertindaklah sekarang, sebelum semuanya terlambat.


Post a Comment

  © Blogger template Shush by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP